Media Informasi dan tempat berkumpulnya anak Nyanglan.

Jumat, 26 November 2010

PELANTIKAN KADUS TENGAH DAN KELOD DS. NYANGLAN


Nyanglan - Kepala Desa Nyanglan I Nyoman Setemer melantik Kepala Dusun Tengah dan Kelod Terpilih di ruang pertemuan Kantor Kepala Desa Nyanglan, Kec. Banjarangkan, Kab. Klungkung pada hari Jumat tanggal 26 Nopember 2010 pukul 10.00 Wita. Yang dilantik yaitu I Wayan Purwa Antara sebagai Kepala Dusun Tengah yang sebelumnya dijabat oleh I Wayan Adnya,  dan I Nengah Ariasta yang dilantik sebagai Kepala Dusun Kelod yang sebelumnya dijabat oleh I Dewa Putu Tarka, Dalam acara tersebut dihadiri oleh Lembaga Desa seperti Ketua LPM, Ketua BPD,Bendesa Adat Nyanglan dan tokoh masyarakat.Pemilihan Kepala DusunTengah dan Kelod dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 14 Nopember 2010 di Balai desa Nyanglan dimana pada waktu itu Calon Kadus Tengah I Wayan Purwa Antara meraih suara sebanyak 279 suara mengungguli lawannya I Ketut Budiasa yang hanya meraih suara sebanyak 212 suara, dan calon Kadus Kelod I Nengah Ariasta meraih suara sebanyak 318 suara mengungguli lawannya I Ketut Sinek yang hanya meraih suara sebanyak 105 suara. Dalam acara kemarin diatensi oleh Babinkamtibmas dan Patroli Polsek Banjarangkan dan acara pelantikan Kadus kemarin berjalan aman dan lancar. (ags adie)

Sabtu, 20 November 2010

Upacara dalam Yadnya Tak Perlu Mahal

Wujud Sraddha Bhakti pada Tuhan
Menjaga Bumi Lewat Asih 


Guna menjaga alam – lingkungan tetap lestari dan bersih serta nyaman, Pemerintah Provinsi Bali, belakangan mulai mencetuskan program Clean and Green (bersih dan hijau). Seruan clean and green ini tidak hanya diperuntukan untuk para pemerhati lingkungan ataupun SKPD yang membidangi masalah lingkungan dan kebersihan, namun kepada seluruh masyarakat Bali.
Khusus di Bali, mengingat hampir 95 persen peduduknya beragama HinduBali. Lantas bagaimanakah hubungan clean and green ini dengan ajaran Agama Hindu di Bali, termasuk dengan segala perlengapan ritual dalam upacara, seperti berbagai alat upakara?
Tuhan menciptaka alam semesta dengan segala isinya, termasuk semua jenis makhluk hidup di dalamnya. Dalam Kitab Weda-Bhagawad Gita bab III sloka 10 (mantra 1967) disebutan, Tuhan yang disebut Prajapati dengan dasar Yadnya menciptakan alam semesta yang disebut sebagagi Khamdhuk dan manusia serta mahkluk hidup lainnya disebut Praja. Praja terutama manusia harus menjadi sentral untuk menggerakkan ajaran yadnya dama memutar kehidupan di bumi.
Manusia beryadnya kepada Tuhan dengan wujud Sraddha dan Bhakti. Beryadnya kepada sesame manusia dalam wujud ‘punia’ dan kepada alam lingkungan termasuk flora dan fauna dalam wujud ‘asih. “Artinya kalau manusia tidak mencurahkan kasihnya pada alam dan punianya pada sesama, berarti manusia tidak melakukan Sraddha dan Bhaktinya pada Tuhan,’tandas Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs I Ketut Wiana, M.Ag, selaku salah seorang pembicara dalam Seminar ‘Clean & Green’ dalam Upacara Agama Hindu, oleh Supreme Master TV & Loving Vegan Community di Agung Room, Inna Bali Hotel, Jalan Veteran 3 Denpasar, Minggu (14/11).
Disebutkan, menjaga bumi yang ditempati manusia agar tetap bersih dan hijau, adalah suatu Yadnya mulia yang wajib dilakukan sebagai wujud pengamalan kehidupan beragama Hindu dimanapun. Di Bali khususnya sudah seyogyanna menjaga kebersihan (clean) dan hijaunya (green) daerah Bali. Ini merupakan hal utama dalam mengamalkan ajaran agama Hindu, lebih-lebih dalam upacara Panca Yadnya dan Bhuta Yadnya, sebagai upacara yadnya yang khusus meningkatan umat Hindu untuk menjaga kebersihan dan hijaunya alam lingkungan.
Wiana mencotohkan sebuah sloka dalam Bhagadgita V.25, yang berbunyi ‘labhante brhamaniravanam, sarvabhutahita ratah’, artinya ‘siapa pun yang senantiasa sibuk menjaga kesehajteraan alam itu, dijanjikan akan mencapao Brahma Nirvana (Sorga)’.


Sad Kertih Konsep Membangun Bali Bersih dan Hijau

Isi ala mini tercipta dari proses penciptaan yang dinyatakan oleh kitab Wrehaspati Tattwa dan sumber-sumber sastra lainnya. Setelah terbentuknya Panca Maha Bhuta, maka munculah Brahmananda-Brahmanda, yaitu telur Brahman sebagai planet-planet isi ruang angkas. Melalui suatu evolusi alam semesta, kemudian munculah Sad Rasa. Dari ini muncul dua unsure sebagai dasar terciptanya makhkluk hidup, yakni Sukla  unsure bibit laki-laki, dan Swanita unsur bibit wanita. Dua unsure inilah bertemu, kemudian lahirlah tiga jenis makhluk hidup secara evolusi. Tiga makhluk hidup itu adalah ‘satvira’ tumbuh-tumbuhan (flora), ‘janggama’ yaitu hewan (fauna) dan manusia. Kata ‘manusia’ adalah yang memiliki kebijaksanaan.
Agar terjadi sinergi yang baik antara manusia dan alam, maka sebagai Tattwa Hindu dirumuskan ke dalam ajaran Sad Kertih dalam Lontar Bali, oleh para orang-orang suci Hindu di Bali. Membangun alam dan manusia dalam Sad Kertih itu dilakukan dengan memuja Tuhan di Sad Khayangan untuk menyucikan diri manusia agar terus memiliki komitmen dan konsistensi untuk mewujudkan nilai-nilai Sad Kertih itu dalam kehidupan individual dan kehidupan sosial.

Upacara dalam Yadnya Tak Perlu Mahal

Sebagai masyarakat Bali, terkadang merasa kesulitan dalam melaksanakan upacara dan adat istiadat, karena sering terpaksa menggunakan persembahan yang kurang green, yakni berupa produk berupa hewani. Bahkan dalam kelengkapan sarana upakara dalam suatu upacara tersebut, dilakukan secara besar-besaran. Di era sekarang ini, sarana upakara yang secara berlebihan sudah menjadi fenomena dalam suatu upacara di masyarakat baik dikalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah.
Perihal kondisi ini, salah seorang sulinggih yang juga selaku Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda, Ketut Sebali Tianyar Arimbawa mengatakan dalam suatu upacara tertentu apa pun, tidak perlu mahal, dan disuguhkan secara besar-besaran, apalagi demi menutupi gengsi atau pencitraan diri. “Sekarang ini banyak yang berubah menjadi BA (‘Belog Ajum’). Melaksanakan upacara secara berlebihan, hanya ingin mengikuti warga lain yang sebelumnya juga melaksanakan acara yang sama,”sindirnya.
Menurutnya, bentuk upacara yang paling sederhana pun, tidak akan membuat upacara tersebut kehilangan arti atau makna yang sesungguhnya. “Biar upacara itu dilaksankaan dalam bentuk besar dan kecil, tetap saja maknanya sama. Misalnya pecaruan dengan hanya mengaturkan segehan, artinya tetap sama,”jelasnya.(Wyn-Edy-ne)


Pelestarian Lingkungan di Tumpek Wariga

Pelestarian Lingkungan di Tumpek Wariga

Annaad bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad bhavati parjanyo Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)
Maksudnya: Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.   Salah satu Sloka di Kitab Bhagawad Gita ini dikutip oleh Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs I Ketut Wiana. M.Ag. Menurutnya, sloka tersebut mengingatkan bahwa tanpa tumbuh-tumbuhan semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya di bumi ini. Mengapa? Karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini.   Lantas bagaimana hubungan pelestarian lingkungan dengan Hari Raya Tumpek Wariga? Ditanyakan demikian, pria yang juga sebagai Ketua Prodi Brahma Widya Pasca Sarjana IHDN Denpasar ini mengatakan di dalam perayaan Hari Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh/Pengarah, yang jatuh setiap Saniscara Kliwon Wuku Wariga ini merupakan upacara yang ditunjukan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai ‘Bhatara Sangkara’, sebagai penjaga tumbuh-tumbuhan di alam semesta ini. “ Karena itu, umat Hindu di India memiliki ''Hari Raya Sangkara Puja'', sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara,”tandasnya.  Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk hidup yang paling utama.   Di Bali pada zaman kerajaan ada Lontar Manawa Swarga yang mencantumkan tentang perlindungan kepada tumbuh-tumbuhan. Dalam Lontar Manawa Swarga dinyatakan, barang siapa menebang pohon tanpa izin raja, maka akan dihukum denda lima ribu kepeng. Demikian juga dalam struktur pemerintahan kerajaan ada satu jabatan yang mengurus tumbuh-tumbuhan yang disebut Menetri Juru Kayu. Mungkin mirip menteri pertanian dan kehutanan dewasa ini.   Demikian besarnya perhatian umat di masa lampau pada tumbuh-tumbuhan. Dewasa ini sesungguhnya secara formal perhatian umat manusia pada kehidupan tumbuh-tumbuhan juga sangat besar. Namun, orientasinya lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis jangka pendek. Bahkan, keuntungan tersebut pun distribusinya tidak berkeadilan. Mereka yang berkecimpung dalam bidang pertanian dalam arti luas selalu mendapatkan kontribusi yang sangat kecil kalau dibandingkan dengan yang lainnya. Petani yang menghasilkan beras, sayur-sayuran, buah-buahan, penghasilannya sangat kecil kalau dibandingkan dengan pedagang beras, sayur atau buah-buahan.   Apalagi bidang yang lainnya. Padahal semua orang tidak mungkin bisa hidup tanpa hasil pertanian itu. Rerainan Tumpek Wariga ini yang datang setiap 210 hari hendaknya jangan dibiarkan terus bergulir dengan tema yang penuh gema namun kosong makna. “Marilah kita maknai lebih nyata. Misalnya dengan membuat program enam bulanan dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya ada hal-hal yang nyata yang kita lakukan terhadap perbaikan nasib tanaman-tanaman yang tumbuh di Bali ini,”sarannya.   Pihaknya menegaskan, dalam perayaan Tumpek Wariga bukan hari otonan tumbuhan. Namun upacara untuk mengapresasi para tumbuhan ini dengan melakukan pemeliharaan secara baik. “Tidak akan ada artinya jika memuja Tuhan dengan upacara besar, namun tidak ikut menjaga isi dari segala ciptaanya, termasuk tumbuh-tumbuhan,”tegas Wiana.(Wyn-Edy ne-)

LENSA KEGIATAN STT

      
Ngayah dalam rangka Karya di Pura Pujung Sari