Media Informasi dan tempat berkumpulnya anak Nyanglan.

Sabtu, 20 November 2010

Upacara dalam Yadnya Tak Perlu Mahal

Wujud Sraddha Bhakti pada Tuhan
Menjaga Bumi Lewat Asih 


Guna menjaga alam – lingkungan tetap lestari dan bersih serta nyaman, Pemerintah Provinsi Bali, belakangan mulai mencetuskan program Clean and Green (bersih dan hijau). Seruan clean and green ini tidak hanya diperuntukan untuk para pemerhati lingkungan ataupun SKPD yang membidangi masalah lingkungan dan kebersihan, namun kepada seluruh masyarakat Bali.
Khusus di Bali, mengingat hampir 95 persen peduduknya beragama HinduBali. Lantas bagaimanakah hubungan clean and green ini dengan ajaran Agama Hindu di Bali, termasuk dengan segala perlengapan ritual dalam upacara, seperti berbagai alat upakara?
Tuhan menciptaka alam semesta dengan segala isinya, termasuk semua jenis makhluk hidup di dalamnya. Dalam Kitab Weda-Bhagawad Gita bab III sloka 10 (mantra 1967) disebutan, Tuhan yang disebut Prajapati dengan dasar Yadnya menciptakan alam semesta yang disebut sebagagi Khamdhuk dan manusia serta mahkluk hidup lainnya disebut Praja. Praja terutama manusia harus menjadi sentral untuk menggerakkan ajaran yadnya dama memutar kehidupan di bumi.
Manusia beryadnya kepada Tuhan dengan wujud Sraddha dan Bhakti. Beryadnya kepada sesame manusia dalam wujud ‘punia’ dan kepada alam lingkungan termasuk flora dan fauna dalam wujud ‘asih. “Artinya kalau manusia tidak mencurahkan kasihnya pada alam dan punianya pada sesama, berarti manusia tidak melakukan Sraddha dan Bhaktinya pada Tuhan,’tandas Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs I Ketut Wiana, M.Ag, selaku salah seorang pembicara dalam Seminar ‘Clean & Green’ dalam Upacara Agama Hindu, oleh Supreme Master TV & Loving Vegan Community di Agung Room, Inna Bali Hotel, Jalan Veteran 3 Denpasar, Minggu (14/11).
Disebutkan, menjaga bumi yang ditempati manusia agar tetap bersih dan hijau, adalah suatu Yadnya mulia yang wajib dilakukan sebagai wujud pengamalan kehidupan beragama Hindu dimanapun. Di Bali khususnya sudah seyogyanna menjaga kebersihan (clean) dan hijaunya (green) daerah Bali. Ini merupakan hal utama dalam mengamalkan ajaran agama Hindu, lebih-lebih dalam upacara Panca Yadnya dan Bhuta Yadnya, sebagai upacara yadnya yang khusus meningkatan umat Hindu untuk menjaga kebersihan dan hijaunya alam lingkungan.
Wiana mencotohkan sebuah sloka dalam Bhagadgita V.25, yang berbunyi ‘labhante brhamaniravanam, sarvabhutahita ratah’, artinya ‘siapa pun yang senantiasa sibuk menjaga kesehajteraan alam itu, dijanjikan akan mencapao Brahma Nirvana (Sorga)’.


Sad Kertih Konsep Membangun Bali Bersih dan Hijau

Isi ala mini tercipta dari proses penciptaan yang dinyatakan oleh kitab Wrehaspati Tattwa dan sumber-sumber sastra lainnya. Setelah terbentuknya Panca Maha Bhuta, maka munculah Brahmananda-Brahmanda, yaitu telur Brahman sebagai planet-planet isi ruang angkas. Melalui suatu evolusi alam semesta, kemudian munculah Sad Rasa. Dari ini muncul dua unsure sebagai dasar terciptanya makhkluk hidup, yakni Sukla  unsure bibit laki-laki, dan Swanita unsur bibit wanita. Dua unsure inilah bertemu, kemudian lahirlah tiga jenis makhluk hidup secara evolusi. Tiga makhluk hidup itu adalah ‘satvira’ tumbuh-tumbuhan (flora), ‘janggama’ yaitu hewan (fauna) dan manusia. Kata ‘manusia’ adalah yang memiliki kebijaksanaan.
Agar terjadi sinergi yang baik antara manusia dan alam, maka sebagai Tattwa Hindu dirumuskan ke dalam ajaran Sad Kertih dalam Lontar Bali, oleh para orang-orang suci Hindu di Bali. Membangun alam dan manusia dalam Sad Kertih itu dilakukan dengan memuja Tuhan di Sad Khayangan untuk menyucikan diri manusia agar terus memiliki komitmen dan konsistensi untuk mewujudkan nilai-nilai Sad Kertih itu dalam kehidupan individual dan kehidupan sosial.

Upacara dalam Yadnya Tak Perlu Mahal

Sebagai masyarakat Bali, terkadang merasa kesulitan dalam melaksanakan upacara dan adat istiadat, karena sering terpaksa menggunakan persembahan yang kurang green, yakni berupa produk berupa hewani. Bahkan dalam kelengkapan sarana upakara dalam suatu upacara tersebut, dilakukan secara besar-besaran. Di era sekarang ini, sarana upakara yang secara berlebihan sudah menjadi fenomena dalam suatu upacara di masyarakat baik dikalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah.
Perihal kondisi ini, salah seorang sulinggih yang juga selaku Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda, Ketut Sebali Tianyar Arimbawa mengatakan dalam suatu upacara tertentu apa pun, tidak perlu mahal, dan disuguhkan secara besar-besaran, apalagi demi menutupi gengsi atau pencitraan diri. “Sekarang ini banyak yang berubah menjadi BA (‘Belog Ajum’). Melaksanakan upacara secara berlebihan, hanya ingin mengikuti warga lain yang sebelumnya juga melaksanakan acara yang sama,”sindirnya.
Menurutnya, bentuk upacara yang paling sederhana pun, tidak akan membuat upacara tersebut kehilangan arti atau makna yang sesungguhnya. “Biar upacara itu dilaksankaan dalam bentuk besar dan kecil, tetap saja maknanya sama. Misalnya pecaruan dengan hanya mengaturkan segehan, artinya tetap sama,”jelasnya.(Wyn-Edy-ne)


1 komentar: